Sunarpos.com| Opini| Kejahatan anak yang melibatkan tindakan kekerasan seperti perkosaan dan pembunuhan merupakan fenomena yang mengkhawatirkan dan memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak. Kejahatan ini tidak hanya menimbulkan dampak yang menghancurkan bagi korban, tetapi juga bagi pelaku yang masih dalam tahap perkembangan psikologis dan emosional. Dalam artikel ini, kita akan membahas faktor-faktor penyebab, dampak sosial, serta penanganan hukum terhadap kejahatan yang melibatkan anak sebagai pelaku. Berita yang cukup mencengangkan adalah Aksi Bocah Pelaku Pemerkosaan Siswi SMP di Palembang. Tiga pelaku adalah anak-anak yakni berinisial MZ 13 tahun, MS 12 tahun, dan AS 12 tahun. Kejadian ini menambah deretan kasus kekerasan seksual dan pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak.
Jika dicermati ada beberapa faktor penyebab mengapa anak melakukan aksi kejahatan pemerkosaan.Faktor tersebut adalah
Pengaruh Lingkungan Sosial dan Keluarga. Lingkungan tempat anak tumbuh, termasuk keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial, memainkan peran besar dalam membentuk perilaku anak. Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kekerasan, disfungsi keluarga, atau kekurangan dukungan emosional cenderung mengalami masalah dalam mengelola emosi mereka. Konflik dalam keluarga, pelecehan, atau pengabaian juga dapat berkontribusi pada perilaku agresif yang dapat berkembang menjadi tindakan kekerasan.
Trauma dan Pengalaman Kekerasan. Banyak kasus pelaku kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak karena trauma dan kekerasan yang dialami pada masa lalu.Pengalaman sebagai korban kekerasan atau pelecehan seksual dapat memengaruhi pola pikir dan perilaku anak, membuat mereka berisiko untuk melakukan kekerasan yang pernah dialami atau disaksikan.
Pengaruh Teknologi dan Media. Teknologi modern dan media sosial juga memiliki dampak signifikan terhadap perkembangan perilaku anak. Paparan konten kekerasan yang berlebihan dari video game, film, atau platform media sosial dapat mempengaruhi persepsi anak tentang kekerasan, menjadikan perilaku tersebut tampak normal atau dapat diterima.
Keterbatasan Pengawasan Orang Dewasa. Kurangnya pengawasan dari orang tua atau pihak berwenang, baik di rumah maupun di lingkungan sekolah, sering kali menjadi faktor yang memungkinkan perilaku menyimpang anak berkembang. Anak-anak yang dibiarkan tanpa pengawasan cenderung lebih mudah terjerumus dalam tindakan kekerasan, terutama jika mereka juga terlibat dalam pergaulan yang salah.
Kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak, terutama yang melibatkan perkosaan dan pembunuhan, menimbulkan dampak sosial yang luas. Selain trauma yang mendalam bagi korban dan keluarganya, masyarakat juga sering kali merespons dengan ketakutan, kebingungan, dan kemarahan. Kasus-kasus seperti ini dapat menimbulkan stigma terhadap pelaku anak, bahkan setelah mereka selesai menjalani hukuman, sehingga menghambat proses reintegrasi mereka ke dalam masyarakat.
Dampak psikologis bagi korban anak juga sangat serius. Korban perkosaan, terutama jika mereka masih di bawah umur, menghadapi risiko gangguan mental seperti depresi, kecemasan, atau bahkan PTSD (post-traumatic stress disorder). Proses penyembuhan bagi korban memerlukan dukungan emosional, medis, dan hukum yang komprehensif.
Dalam konteks hukum, anak yang terlibat dalam tindak pidana, termasuk perkosaan dan pembunuhan, tidak diperlakukan sama dengan orang dewasa. Banyak negara, termasuk Indonesia, memiliki peraturan khusus yang mengatur tentang penanganan pelaku kejahatan anak. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU No. 11 Tahun 2012) di Indonesia, misalnya, mengatur bahwa pelaku anak harus diadili di bawah sistem peradilan yang berorientasi pada rehabilitasi dan restorasi, bukan semata-mata hukuman.
Restoratif dan Rehabilitatif Sistem peradilan anak bertujuan untuk mengembalikan anak ke masyarakat setelah mereka menerima rehabilitasi yang tepat. Tujuannya adalah memperbaiki perilaku anak dan mencegah mereka mengulangi tindakan kriminal di masa depan. Namun, dalam kasus kejahatan berat seperti perkosaan dan pembunuhan, rehabilitasi perlu dilakukan dengan pendekatan yang intensif dan berkelanjutan.
Diversi dan Perlindungan Hak Anak Diversi merupakan upaya untuk menghindarkan anak dari proses peradilan formal dan menempatkan mereka dalam program rehabilitasi atau mediasi, terutama jika mereka adalah pelaku pertama kali dan tindakan kejahatannya tidak terlalu berat. Namun, untuk kejahatan serius seperti pembunuhan dan perkosaan, pelaku anak tetap diadili dengan mempertimbangkan usia mereka dan dampak yang mungkin ditimbulkan oleh kejahatan tersebut.
Sanksi Pidana Meskipun bertujuan rehabilitatif, sistem hukum tetap memungkinkan penerapan sanksi pidana bagi anak pelaku kejahatan berat. Biasanya, hukuman ini diberikan dalam bentuk pidana penjara yang dipersingkat atau ditempatkan di lembaga rehabilitasi anak, dengan tujuan utama membimbing dan memperbaiki mereka, bukan menghukum secara sewenang-wenang.
Pencegahan kejahatan anak memerlukan pendekatan multi-aspek, melibatkan keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat secara luas. Program edukasi tentang kekerasan, perlindungan anak, serta dukungan emosional bagi anak-anak yang berisiko merupakan langkah awal yang sangat penting. Orang tua dan pendidik harus lebih sadar akan pentingnya memperhatikan tanda-tanda awal perilaku menyimpang serta memberikan pengawasan yang memadai.
Selain itu, perlu ada pendekatan yang lebih kuat dalam pengaturan konten media dan teknologi yang diakses oleh anak-anak, memastikan bahwa mereka tidak terpapar konten yang mempromosikan kekerasan. Penguatan peran lembaga perlindungan anak, pendampingan psikologis, dan intervensi sosial juga penting dalam membentuk perilaku anak yang lebih positif dan mengurangi risiko tindakan kriminal. Hal ini membuat. *)
*) Penulis
Dr. I Ketut Suar Adnyana, M.Hum.
Akademisi Universiats Dwijendra