Sunarpos.com| Gianyar| Pura Penataran Air Jeruk Desa Adat Semaon, Desa Puhu Kacamatan Payangan berkaitan erat dengan perjalanan suci Sang Maha Rsi Markandya, ke Bali. Dalam perjalan suci tersebut beliau melalui tukad Wos, sampai di Ulu Sungai Wos ( desa Kerta/Alas Angker sebelah barat dan ke Timur desa Sarwada/Taro ) dalam perjalanan beliau sering melakukan semadi untuk meminta petunjuk dari Ida Sang Hyang Widi Wasa agar diberikan pencerahan dan jalan yang terbaik.
Pertama beliau mengadakan yoga semadi di puncak Gunung Lebah di campuan Ubud, kemudian di Puncak Payogan ( Payogan/ lunsiakan ubud ), pura murwa Bumi di Pengaji. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan sampai di Hutan lebat madurgama yang memiliki aura yang sangat bagus, disebut Giri Kesuma, dipinggir utara hutan terdapat banyak tumbuh bunga bunga tempat itu diberi nama Kusuma Sari( dulu adalah tempat pemukiman warga Semaon berada di sebelah timur SPBU sekarang ) , melewati hutan yang membubung tinggi kemudian disebut Ubung Sari ( Desa Adat Semaon Sekarang ) dan perjalanan berlanjut sampai di ulu sungai Wos, Sebagian ada ke arah barat yaitu hutan/alas Alas Angker Desa Kerta, dan Sebagian kearah timur, di sarwa ada desa Taro sekarang
Dikisahkan dalam merabas hutan tersebut banyak pengikut beliau yang sakit dan melarikan diri, setelah ditelusuri, saking takutnya ada yang sembunyi di rerimbunan semak belukar ( Ngepil ) daerah ini sekarang disebul Pilan. Ada yang sakit mukanya pucat pasi, ( seming ) di daerah seming sekarang, beberapa di jumpai sedang menjemur diri karena kedinginan ( ginyah ) tempat nginyah itu desebut desa Penginyahan .
Sesampainya beliau di sekitar daerah Kesuma Sari/Puncak Adri, beliau berjumpa dengan seorang Wanita cantik anak dari seorang Wiku yang memiliki pasraman di Puncak Mangenu ( ulun tegal apit ) Wanita ini Bernama Ida Ayu Kesuma Sari sesuai tempat tersebut ( dalam versi lain Namanya disebut Ida Ayu Merta Sari ). Akhirnya rombongan Rsi Markendya di ajak Mampir di pesraman dan diberikan minuman air jeruk hangat,( konon jeruk itu disebut jeruk linglang ) dengan sangat menankjubkan semua rombongan menjadi segar bugar, karena itu daerah puncak mangenu itu diberi nama Air Jeruk. Atas berkah tersebut beliau bersyukur dan bersemadi menghadap ke gunung agung, beliau duduk bersimpuh ( melinggih ) akhirnya daerah sekitarnya di sebut melinggih. Saking sidinya doa beliau rasanya gunung agung itu berada di timur hutan Giri Kusuma ( jadi kelau dari Giri Kusuma Gunung Agung rasanya persis berada di timur, tapi bila di utara dan diselatan Giri Kusuma Gunung Agung nampak berada di timur laut ). Dalam semadi beliau meyakini bahwa tempat-tempat yang ada di pulau Bali itu merupakan linggih dari para dewa/hyang, terbagi/pah dalam berbagai manifestasi, sehingga disebut parahyangan, yang kemudian hari menjadi Payangan.
Di pagi hari pengikut Sang Rsi, melihat bayangan gunung agung itu dekat sekali, banyak yang berlari kearah timur laut sambil berteriak paak suba-paak suba ( artinya gunung agung sudah dekat ) paak suba lama kelamaan disebut Paku Seba di tempat itu Sebagian ada yang membuat perkemahan, dimalam harinya membuat api unggun, akhirnya tertidur lupa mematikan api dan api terus menjalar ke utara membakar semat belukar sangat Panjang, sehingga terdapat abu( bekas kebakaran ) yang sangat Panjang ( abu lantang ) kemudian daerah disebelah utara paku seba disebut abu lantang lama kelamaan disebut tebulantang.
Namun dalam perang Payangan saat diserbu oleh Buleleng dan Ubud banyak prasasti yang di bawa ke Buleleng, beberapa dari warga puri Payangan yang melarikan diri menuju Tampak siring menyembunyikan pusaka pusaka kerajaan di Pakuseba, yang sekarang disebut pura Pajenangan. Pada saat perang wuug Payangan Perarai Linggih Tapakan Ratu Linggir, dijarah di bawa ke Buleleng, di kemudian hari dikembalikan namun karena takut ke pelinggih ditaruhlah disebalah selatan Desa Selat ( Jaange), kemudian disebut Desa Jaang. Pakoleman Ida Bhatara Ratu Lingsir di pindahkan ke Pura Puseh yang berada tepat di ujung utara daerah Kusuma Sari. Disini ditemukan prasasti lempengan, ditaksir oleh badan arkeologi di buat tahun icaka 999, dan dulu di dasar padma ada tulisan bali kuno antara lain berbunyi, ‘Teja Candra sirna hilang dening surya’, banyak orang mengatakan itu candrasengkala ( candra/bulan itu satu, sirna kosong, hilang kosong, surya sama dengan satu ) atau tahun icaka 1001, jadi perkiraan pura puseh Desa adat Semaon didirikan sekitar tahun caka 1001.
Di Pura Penataran Air Jeruk juga didirikan Padma Kembar, konon sebagai pemujaan ke Gunung Agung sebagai pelinggih Sang Hyang Girinatha/ atau sanghyang Iswara ( aksara Ah ) dan pemujaan ke Gunung Raung pelinggih Sang Hyang Penciptaan / Brama ( aksara Ang ). Sehingga kelau setiap odalan itu di simbulkan dari ulam banten, pelinggih Sang Hyang Giri Natha menggunakan ulam sarwa putih ( Bebek putih, ayam putih ) dan ke Gunung Raung sarwa merah ( bebek bulu sumi dan ayam biing ).
Dikisahkan setelah seluruh pengikut Rsi Markendya sehat dan bugar ada yang menetep di sekitar hutan kesuma sari tapi sebagian ada yang membuat pedukuhan di Pakuseba, di daerah ini dulu banyak ditemukan gelang panca datu,( kebiasaan pengikut Rsi Markendya sebelum membangun podok di dahului menanam Gelang Pancadatu ) oleh Masyarakat disebut gelang dukuh. Dalam perkembangan selanjutnya padepokan kesuma sari berkembang dengan tentram dan Makmur, kemudian di ulu desa ditepi Gunung Ubung Sari di bangun pura, yang sekarang jadi pura Puseh dan Balai Agung Desa Pakraman Semaon, sedangkan di lor, disebelah Selatan hutan Giri Kesuma didirikan Pura dan kuburan dan setelah datangnya pengaruh dari Empu Kuturan dijadikan Pura Dalem dan Prajapati. Sedangkan di tempat pasraman sang Wiku didirikan pura penataran dengan padma kembar yang sekarang dikenal dengan Pura Dankayangan Air Jeruk. [Sila]