Sunarpos.com| Opini| Akhir akhir ini sering kita dengan adanya wacana dari beberapa pihak tentang pemakzulan Presiden. Pemakzulan, menurut KBBI, makzul diartikan sebagai berhenti memegang jabatan atau turun takhta. UUD 1945 sendiri tidak menggunakan kata makzul, pemakzulan atau memakzulkan, tetapi istilah yang digunakan adalah “diberhentikan” dan “pemberhentian”
Dalam Undang Undang Dasar 1945, pasal 7A dijelaskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Itu artinya Presiden dapat diberhentikan oleh MPR atas usul dari DPR, apabila menurut penilaian DPR Presiden dan/atau wakil presiden melakukan pengkhianatan terhadap negara. Sedangkan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dijelaskan dalam pasal 7B ayat (1) sebagai berikut :
Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. ) (4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadiladilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi. ***) (5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. ***) (6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut. ***) (7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. ***)
Proses ini dirancang untuk memastikan bahwa pemakzulan tidak dilakukan dengan mudah atau sembarangan, melainkan melalui prosedur yang ketat dan pengawasan yang kuat, sehingga hanya pelanggaran serius yang dapat menyebabkan seorang Presiden atau Wakil Presiden diberhentikan dari jabatannya.
Secara keseluruhan, mekanisme pemakzulan di Indonesia mencerminkan prinsip check and balances dalam sistem pemerintahan, memastikan bahwa kekuasaan eksekutif tidak disalahgunakan dan tetap berada dalam koridor hukum dan etika. *)
*) Penulis
MARIA INTANIA ROSARI TAE & YOSUA WANDA
Mahasiswa Prodi PPKn, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Dwijendra