Sunarpos.com| Opini| Bali memiliki beragam kekayaan adat dan budaya yang begitu menarik untuk pahami karena menarik dan penuh makna. Sebagian besar masyarakat Bali menganut agama Hindu, maka kebanyakan upacara adat dan tradisi Bali juga kental dengan nilai-nilai dari agama Hindu. Salah satunya adalah budaya pemakaian benang Tridatu, yang sering kita lihat hampir setiap orang hindu di Bali memakai benang tridatu.
Benang sering dipakai dalam upakara dan upacara agama hindu memiliki banyak makna sesuai dengan dudonan acara yang dilaksanakan, mulai dari upakara buta, manusia, resi, pitra dan dewa yadnya Benang dalam upakara hindu mempunyai banyak makna, kata benang juga sering diartrikan beneng artinya lurus suatu prilaku yang benar sesuai dengan tataanan hukum, dan baik sesuai dengan tatan moral.
Benang juga dipakai sebagai merajut sesuatu yang bercerai berai, menyambung dan menyatukan, secara filosofis untuk menghubungkan kehidupan sekala dan niskala antara kehidupan di duniawi dan di alam niskala. Dalam upacara Butha Yajna, benang Tri Datu dipakai pamogpog (pelengkap) atas kekurangan persembahan yang dilaksanakan. Untuk pelaksanaan upacara Rsi Yajna juga memakai benang Tri Datu yang digunakan sebagai slempang pada tubuh yang di diksa atau winten sebagai pawitra dari nabe kepada sisya.
Sedangkan pada upacara Manusa Yajna benang Tri Datu difungsikan sebagai lambang panugrahan. Memakai benang pawitra berwarna Tri Datu bermakna pengikatan diri terhadap norma-norma agama.
Dalam upacara Dewa Yajna benang Tri Datu difungsikan sebagai sarana nuntun Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya. Selain itu, benang Tri Datu digunakan sebagai alat atau media penghubung antara pemuja dan yang dipuja.
Sehingga secara umum dalam upacara agama hindu di Bali banyak memakai sarana benang, benang sebagai simbul beneng yang artinya lurus dan benar, sehingga benang oleh tukang dipakai sebagai sepat ( sarana untuk menunjukan lurus/tegak atau pas ) seperti sepat gantung, sepat siku, sepat lurus. Beberapa upacara yang menggunakan sarana benang antara lain :
Benang Putih. yang biasanya digunakan saat otonan dan diikatkan pada pergelangan tangan sebagai simbol agar hati kita selalu di jalan yang lurus/benar dalam kehidupan ini. Sedangkan penggunaan benang Putih pada saat mabeakala saat upacara pawiwahan, benang papegat yang berwarna putih sebagai simbol dari lapisan kehidupan, berarti sang pengantin telah siap untuk meningkatkan alam kehidupannya menuju Grehasta Asrama (berkeluarga).demikian jujga dalam upacara mejaya jaya pada mereka yang akan dilantik benang putih memiliki makna pertama untuk kesucian hati dan kesiapan untuk memangku jabatan yang diberikan. Kedua mereka harus memahami bahwa jabatan itu adalah amanah yang harus dilakukan dengan ketulusan dan upacara ini diharapkan para pejabat jujur, disiplin, penuh dedikasi dan loyalitas.
Benang Selem, yang berwarna hitam dalam upacara pagedong – gedongan pinaka penuntun hidup. Pada salah satu teks yang berjudul Indik Panyengker Gerubug jelas disebutkan bahwa benang dapat digunakan sebagai sarana untuk menangkal berbagai pengaruh dari sasab merana, gering, gerubug. Benang yang digunakan adalah benang berwarna hitam. Ini khusus untuk memproteksi dari pengaruh hal-hal negatif, baik unsur alam, maupun yang bersifat perbuatan manusia.
Benang Tukelan, ada pada daksina lambang naga dalam proses pemutaran mandara giri untuk mencari tirta amertha sebagai alat/media penghubung antara pemuja dan yang dipuja. Sedangkan pada upacara Pitra Yajna benang tukelan difungsikan sebagai panuntun atma yang telah meninggal, agar mendapatkan tempat yang layak disisi Brahman/Tuhan Yang Maha Esa
Benang, pis bolong, nasi aon (nasi dicampur abu gosok) dan porosan dalam banten penyeneng berfungsi sebagai alat untuk nuntun.
Benang Tatebus, filosofi penggunaan benang tetebus dalam upakara yadnya adalah jika kita mengerjakan sesuatu hendaknyalah dilakukan sampai tuntas, bagaikan memilin benang tetebus yang bercerai-berai dan kita diwajibkan untuk mempersatukan dan menjadikan benang tersebut menjadi satu-kesatuan. Benang tetebus ini digunakan sebagai simbol dari beberapa upacara yadnya dan tetandingan banten seperti disebutkan :
Pada tetandingan banten pengladagan dedari dalam upacara pagedong gedongan menggunakan tetebus putih kuning.
Banten sesayut patemon mangge ring pawiwahan, sane istri (perempuan) menggunakan tatebus barak sedangkan sane lanang (laki-laki) menggunakan tatebus putih, tetapi untuk Tatebasan bayakala pakala – kalanan menggunakan benang tatebus putih.
Sesayut purna asihnya ngangge tatebus item dan kuning.
Tatebus untuk tatebasan / sesayut dharmaning angekeb sari manut ring warnaning tumpeng.
Sesayut sugih rendah rikala negteg Pulu menggunakan tatebus putih.
Ring pengekeban, sesayut derman angopti sari menggunakan tatebus item dan kuning.
Benang Tri Datu, sebagai simbol ikatan akan tiga perjalanan hidup di dunia ini yang disebut Tri Kona (Lahir, Hidup & Mati). Benang Tri Datu juga sebagai lambang Kesucian Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Brahma (pencipta), Wisnu(pemelihara), dan Dewa Siwa (pelebur).
Bagi umat Hindu, benang Tri Datu atau yang sering disebut Tri Datu, berasal dari dua kata yakni kata tri yang berarti tiga, dan datu yang berarti kekuatan, jadi Tri datu berarti tiga kekuatan. Tiga kekuatan yang di maksud adalah kekuatan dari tiga Dewa utama dalam agama Hindu, yakni Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa.
Dalam konsep Hindu Ida Sang Hyang Widi Wasa ( Tuhan Yang Maha Esa ) memiliki tiga manfestasi, dewa Brahma sebagai pencipta dilambangkan dengan aksara suci Ang, Dewa wisnu sebagai pemelihara dilambangkan aksara suci Ung dan Desa Siwa sebagai pelebur dilambangkan dalam aksara suci Mang
Ketiga aksara ini yaitu Ang, Ung, Mang bila disatukan akan menjadi aksara AUM yang bila diucapkan menjadi OM. Aksara pranawa OM merupakan aksara suci umat Hindu serta memiliki nilai magis yang luar biasa sebagai simbol dari Ida Sanghyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.
Pada hakikatnya, benang Tri Datu merupakan salah satu aktualisasi diri dalam memuja Tri Murti. Dalam ajaran agama Hindu Tri Murti adalah tiga kekuatan Sang Hyang Widhi Wasa dalam menciptakan, memelihara, dan mengembalikan pada asalnya alam beserta isinya.Salah satu sastra yang membahas tentang penggunaan benang Tri Datu dalam ritual keagamaan Hindu adalah Lontar Agastya Parwa. Dimana dalam lontar Agastya Parwa disebutkan, benang Tri Datu untuk manusia digunakan sebagai sarana perlindungan dari kekuatan negatif, sehingga manusia bisa terhindar dari hal-hal negatif dan bisa berfikir lebih bijaksana. Berdasarkan kepercayaan itu sehingga setiap kita sembahyang di pura-pura besar kita diberikan benang tridatu yang sudah
Penggunaan benang Tri Datu, hampir pada semua kegiatan keagamaan dalam Panca Maha Yajna pelaksanaannya memakai benang Tri Datu , namun pada awalanya benang tri datu yang digunakan sebagai gelang, sebagai suatu anugrah atau pinget/tanda bagi pemedek, pertama kali dibagikan bagi pemedek yang tangkil ke Pura Dalem Peed di Nusa Penida sebagai paica/anugrah berupa gelang benang Tri datu, lalu seiring dengan perkembangan, akhirnya hampir seluruh Pura di Bali saat ini menganugrahkan benang Tri datu kepada para pemendek yang datang.Jalinan benang Tri Datu pun tidak boleh sembarangan. Jalinan benang Tri Datu ini bisa dikatakan benar bila ukuran benangnya sama dan dijalin saling ikat bukan terlepas begitu saja.
Jadi konsep Ketuhanan Yang Maha Esa begitu melekat pada benang Tri Datu, sebagai pertanda orang beriman dan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha esa, pasrah dan tulus menyerahkan diri pada Yang Ilahi. *)
*) Drs. I Made Sila, M.Pd
Wakil Rektor II dan Dosen Prodi PPKn Dwijendra Universitu