Sunarpos.com| Opini| Masyarakat Wanokaka Sumba Barat Nusa Tenggara Timur (NTT) mempunyai tradisi adat yang unik yaitu Bau Nyale. Bau Nyale biasanya dilakukan pada bulan Februari.Tradisi ini merupakan kegiatan menangkap cacing laut yang hanya ada satu tahun sekali di Wanokaka. Kemudian di siang harinya baru diadakan Pasola yaitu bertarung saling melemparkan tombak kayu yang sudah di sediakan dengan mengendarai kuda. Bau Nyale diadakan di pagi. Warga Wanokaka berbondong bondong pergi ke pantai bersama Rato Adat untuk menangkap cacing laut
Sebelum menangkap cacing laut Rato adat melalukan ritual dengan leluhur. Setelah itu Rato adat pergi kepinggir pantai dan menendang nyale yang masih bergumpal agar bisa tersebar dan masyarakat bisa menangkap cacing laut tersebut. Sedangkan pada siang harinya baru melakukan tradisi Pasola sebagai permohonan restu kepada leluhur. Tradisi Bau Nyale atau menangkap nyale, sicacing laut,telah dilakukan sejak puluhan tahun bahkan ratusan tahun yang lalu. Menangkap cacing laut yang sangat langkah ini merupakan tradisi masyarakat Wanokaka, karena selain cacing yang hanya keluar setahun sekali di Wanokaka cacing inipun bermakna kesuburan bagi masyarakat Sumba Barat .
Nyale bukan hanya sekadar cacing bagi masyrakat Wanokaka, selain sebagai sumber makanan dan kesuburan, nyale juga bisa dibilang panen warga wanokaka. Perkiraan panen bisa dilihat dari warna nyale yang keluar pada saat penangkapan.Menurut kepercayaan masyarakat Wanokaka , panen akan melimpah apabila nyale yang keluar berwarna lengkap, yaitu putih, hitam, hijau, kuning dan coklat. Warna itu bisa menentukan banyak sedikitnya hujan yang akan turun ketika bertanam.Semakin banyak nyale yang keluar berarti semakin subur dan melimpah hasil panen karena nyale mengikuti angin dan hujan
Pernah terjadi nyale tidak keluar sama sekali ini karena waktu penangkapan yang tidak tepat perhitungannya menggunakan musyawarah para Rato adat . Maka dari itu jika nyale tidak keluar pada satu waktu maka akan dilakukan kembali penangkapan nyale tersebut.Setelah pulang dengan membawa banyak nyale, masyarakat Wanokaka melakukan perayaan rasa syukur terhadap panen yang melimpah. Ini adalah tradisi Pasola, “sola” yaitu tombak menurut bahasa lokal dan “pa” berarti permainan tombak.Pasola juga adalah rangkaian adat yang berkaitan dengan panen masyarakat. Di mana pemuda-pemuda Sumba Barat saling menombak kubu lawannya dengan menunggang kuda. Dengan menggunakan kain tenun di kepala dan pinggangnya, mereka dengan cekatan melemparkan kayu panjang berujung tumpul ke kubu lawan.
Ketika kayu tersebut melukai lawannya mereka sangat senang tapi ini yang dinantikan. Setiap darah yang keluar dalam tradisi ini dipersembahkan kepada dewa bumi yang memberikan kesuburan bagi panen masyarakat selama setahun ke depan. Walau demikian, para petarung Pasola tidak pernah dendam atau dihukum setelah melukai lawannya. Semua kembali pada keadaan semula dengan damai.*)
Maria Agustina Astuti Kalli
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia,
FKIP, Universitas Dwijendra