MEMAKNAI PELAKSANAAN HARI RAYA DALAM BUDAYA BALI

Sunarpos.com| Opini| Umat Hindu khususnya di Bali akan merayaan hari-hari raya suci secara beruntun, karena sasih dan wukunya jatuh pada saat yang bersamaan. Pada wuku dunggulan dan Kuningan bertepatan dengan sasih ka sanga dan kedasa Dimana pada sasih itu umat hindu akan merayakan hari raya tawur kasanga dan hari Nyepi.
Rangkaian rari raya galungan itu sendiri, sudah dimulai sejak tumpek wariga, yaitu tumpek bubuh/pengatag ( Saniscara Keliwon, tgl, 3 Februari 2024 ). Dalam kasanah local hindu di Bali, pada saat tumpeh pengatag masyarakat merayakan upacara untuk mohon doa restu dari Tuhan Yang Maha esa / Ida Sang Hyang Widi Wasa agar diberikan berkat dan rakhmat yang berlimpah berupa hasil bumi untuk menyambut hari Galungan. Bubuh sendiri dipandang sebagai kesuburan agar pohon-pohon tumbuh subur dan berbuah banyak, sedangan pengatag bermakna pemberitahuan/mengingatkan bahwa hari raya galungan sudah dekat lagi 25 hari, agar seluruh pepohonan berbuat lebat untuk dapat dipakai upacara menyambut galungan .
Dalam mitologi hindu pohon/tumbuhan disebut dadong/kaki/nenek, karena dalam teori evolusi tumbuhan pertama ada, kemudian hewan dan baru manusia , manusia ada setelah ekosistem memungkinkan manusia hidup. Dalam Baghavad gita sloka , III.14 ditegaskan bahwa:
Makhluk hidup berasal dari makanan dan makanan berasal dari tumbuhan, tumbuh-tumbuhan berasal dari hujan, hujan berasal dari yadnya dan yadnya itu adalah karma.
Jadi yadnya yang dilakukan manusia adalah suatu doa dan penghormatan pada seluruh isi alam semesta yang telah memberi hidup dan kehidupan bagi manusia.
Menurut Ketut Wiana, dalam konsep ajaran agama hindu disebut tri chanda, yaitu tiga unsur yang memberi hidup dan kehidupan adalah udara (vata), air ( apah ) dan tumbuh-tumbuhan (ausada ). Sedangkan dalam kitab Niti sastra dijelaskan tiga hal yang menyebabkan kemuliakan hidup disebut dangan tri ratna permata yaitu, air, Tumbuh-tumbuhan dan kata-kata bijak.
Setelah Tumpeh pengatag dilanjutkan dengan menyambut hari raya sugihan jawa ( Werespati Wage Wuku sungsang, tgl 22 Februari 2024 ). Jika dilihat dari arti katanya, kata sugihan jawa berasal dari urat kata sugi, yang artinya membersihkan dan jawa artinya luar. Jadi sugihan jawa dapat diartikan sebagai suatu upacara yang berfungsi untuk membersihkan Bhuana Agung atau alam semesta (makrokosmos), baik sekala maupun niskala. Berdasarkan lontar Sundarigama, sugihan jawa diartikan sebagai pesucian dewa kalinggama pamrastista bhatara kabeh (pesucian dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pada saat pelaksanaan sugihan jawa yang menjadi target (yang disucikan) adalah buana agung atau alam semesta seperti misalnya membersihkan pelinggih atau tempat – tempat suci yang digunakan sebagai tempat pemujaan, membersihkan alam lingkungan, baik pura, tempat tinggal dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci.
Sedangkan sugihan Bali (Sukra keliwon wuku sungsang, tgl 23 Februari 2024 ), berasal dari kata sugi yang artinya membersihkan dan Bali yang berarti kekuatan yang ada dalam diri (bahasa sansekerta). Jadi sugihan Bali adalah upacara yang bertujuan untuk menyucikan buana alit atau mikrokosmos (manusia) secara sekala dan niskala, sehingga bersih dari perbuatan – perbuatan yang ternoda atau pembersihan lahir dan bathin. Pembersihan dapat dilakukan dengan penglukatan, sarananya dapat menggunakan bungkak nyuh gading.
Dalam lontar sundarigama, sugihan bali bermakna “kalinggania amrestista raga tawulan” yang artinya oleh karenanya menyucikan badan jasmani -rohani masing-masing / mikrokosmos yaitu dengan memohon tirta pembersihan / penglukatan.
Pada sugihan jawa, yang jatuh pada Werespati wage wuku sungsang, dimaknai sebagai upacara memohon kebersihan alam semesta ( makrokosmos/buana agung ) beserta isinya sehingga saat perayaan galungan, dapat dirayakan dalam keadaan yang nyaman, tentram dan ceria sehingga seluruh aktivitas berjalan dengan lancar. Sedangkan saat sugihan bali, pada hari jumat keliwon wuku sungsangn, adalah hari memohon dan berdoa untuk membersihkan diri manusia itu sendiri ( buana alit/mikrokosmos). Membersihkan diri dalam arti sekala niskala, sekalanya berupa pemahaman pada hakekat hidup manusia, menjaga diri, menghindari berbuat yang negative , menjunjung tinggi moralitas dan kebenaran biasanya dengan, mandi, melukat atau memohon tirta gocara, sehingga kita siap mental untuk menyambut hari suci dengan penuh keiklasan, ketulusan dan rasa Syukur kehadapan Hyang Widi Wasa, atas segala berkat dan rakhmatNya.
Perayaan hari raya Galungan , ( Buda keliwon Dunggulan, tgl 28 februari 2024 ). Kepercayaan pada saat perayaan galungan akan kedatangan Sang Kala Tiga yang akan menggoda iman manusia, ini merupakan sebuah peringatan untuk umat hindu  agar selalu meneguhkan hati. Apabila kita biarkan kekuatan buruk yang menang, maka dunia ini akan menjadi rusak. Sehingga pada saat akan merayakan galungan mulai dari menyekeban, yang bermakna mengekang hawa nafsu, menahan Indera dan amarah, dan selalu berpikir yang tulus dan iklas dalam menyambut upacara dan perayaan galungan.
Menurut Pustaka (lontar) Djayakasunu, pada hari Galungan itu Ida Sanghyang Widhi menurunkan anugrah berupa kekuatan iman, dan kesucian batin untuk memenangkan dharma melawan adharma. Menghilangkan kekuatan buruk pun dipercaya harus dimulai dari hati masing-masing orang, sehingga perayaan galungan perlambang kemenangan dharma melawan adharma, artinya apabila kita dapat mengendalikan hawa nafsu dan diri kita akan hidup dengan harmonis dan tentram, suka tanpa wali duka.
Hari Pemacekan agung, ( Soma Keliwon wuku Kuningan, tgl 4 Maret 2024 ) menurut I Made Nada Atmaja , Pemacekan Agung, jatuh pada Soma Kliowon Kuningan, ialah hari memanjatkan tekad yang baik ditengah-tengah kesucian bathin.Pemacekan berasal dari kata ‘Pacek’ yang artinya adalah ‘Tapa’, sedangkan ‘Agung’ memiliki arti ‘Kuat’. Diketahui, Pemacekan Agung di Bali merupakan hari raya umat Hindu dalam rangka pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Prameswara dengan niat menghaturkan yadnya untuk memohon keselamatan.
Dilihat dari sisi filosofis, Pemacekan Agung mengandung makna bahwasanya hari ini manusia dingatkan agar “kemenangan” yang telah diperoleh melalui pertempuran melawan adharma (perselisihan) dijadikan sebagai ajang kebangkitan kesadaran diri terhadap komitmen dalam menjaga martabat manusia dan menghindarkan diri dari “momo angkara” (kejahatan).
Kesimpulannya, makna pemacekan agung ini ialah sebagai simbol keteguhan iman umat manusia atas segala godaan selama perayaan hari Galungan.
Hari Raya Kuningan yang jatuh pada hari Saniscara keliwon wuku kuningan, atau sering disebut Tumpek Kuningan . Pada hari ini umat melakukan pemujaan kepada para Dewa, Pitara untuk memohon keselamatan, kedirgayusan, perlindungan dan tuntunan lahir-bathin. Pada hari ini diyakini para Dewa, Bhatara, diiringi oleh para Pitara turun ke bumi hanya sampai tengah hari saja, sehingga pelaksanaan upacara dan persembahyangan Hari Kuningan hanya sampai tengah hari saja. Beberapa perlengkapan Hari Kuningan yang khas yaitu: Endongan sebagai simbol persembahan kepada Hyang Widhi. Tamyang sebagai simbol penolak malabahaya. Kolem sebagai simbol tempat peristirahatan hyang Widhi, para Dewa dan leluhur kita.
Sehari setelah kuningan yaitu redite umanis Langkir tanggal 11 Maret 2024, umat hindu akan melakukan upacara tawur agung kasanga dan dilanjutkan dengan melaksanakan brata penyepian. Tawur Agung Kesanga menyimpan sejarah dan nilai tradisi kental yang berkaitan dengan pelaksanaan hari raya Nyepi. Dilansir dari laman bali.kemenag.go.id, Tawur Agung Kesanga berdasarkan Lontar Sang Hyang Aji Swamandala, merupakan upacara Butha Yadnya yang bertujuan untuk kesejahteraan alam dan lingkungan.
Salah satu rangkaian upacara sehari sebelum hari raya Nyepi ini dilaksanakan pada Tilem Sasih Kesanga. Pelaksanaan Tawur Agung Kesanga biasanya pada tengah hari (tengai tepet).
Sementara itu, dilansir dari sumber lain, Tawur Agung Kesanga bertujuan membersihkan Bhuana Agung dan Bhuana Alit sesuai konsep Tri Hita Karana. Tujuan pelaksanaan Tawur Agung Kesanga untuk mengusir keburukan dari lingkungan sekitar.
Makna pelaksanaan Tawur Agung ialah membayar atau mengembalikan sari-sari alam yang diambil manusia selama memenuhi kebutuhan hidup. Pengembalian dilakukan dengan upacara yang ditujukan kepada para Butha, dengan tujuan para Butha tidak mengganggu manusia.
Setelah dilaksanakan Tawur Agung Kesanga dilanjutkan dengan pawai ogoh-ogoh yang berwujud Bhuta Kala (simbol kejahatan). Ogoh-ogoh akan diarak keliling desa, kemudian dibakar.
Ini sebagai makna untuk membakar segala kejahatan di muka bumi. Sehingga, akan tercapai kehidupan yang harmonis yang sejalan dengan ajaran Tri Hita Karana.
Rangkaian Nyepi dimulai dari Melasti, kemudian Tawur Agung Kesanga, dilanjutkan Pengerupukan, hingga akhirnya Nyepi. Tawur Agung Kesanga dilaksanakan dengan melakukan upacara di catus pata (perempatan) desa yang dianggap sebagai titik temu antar ruang dan waktu.
Upacara lalu dilanjutkan dengan melakukan pecaruan di rumah masing-masing. Setelahnya dilanjutkan pawai ogoh-ogoh mengelilingi desa. Hal itu bertujuan menyerap energi negatif dan meleburnya, dengan disimbolkan melalui pembakaran ogoh-ogoh yang telah diarak.
Hari Raya Nyepi dapat diartikan sebagai hari penyucian diri manusia dan alam. Hari Raya Nyepi merupakan perayaan atas tahun baru Saka dalam kalender Saka yang digunakan umat Hindu sebagai acuan penanggalan. Melalui Nyepi, umat Hindu khususnya warga Bali menggelar serangkaian upacara adat. Hari raya nyepi pun menjadi syarat bagi umat Hindu dalam menyambut tahun baru Saka. Saat hari raya Nyepi, umat Hindu di Bali berupaya menahan hasrat untuk tidak keluar rumah, bekerja, menghidupkan perapian, ataupun mengujarkan kalimat-kalimat tertentu. Pengendalian diri tersebut dilakukan dengan Catur Brata Penyepian. ( amati Gni, amati karya, amati lelungan dan amati lelangunan ) Dengan begitu umat Hindu dapat khusuk ketika mengevaluasi diri, meditasi, dan shamadi dalam keheningan. Hari Raya Nyepi dapat diartikan sebagai hari penyucian diri manusia dan alam. Dengan kata lain, Nyepi bertujuan untuk membuang kotoran dan keburukan yang lalu agar siap menghadapi rintangan di tahun yang baru. Saat nyepi, berbagai larangan beraktivitas diberlakukan. Dengan suasana yang hening, umat Hindu dapat melakukan perenungan dengan khidmat. Tahapan akhir Hari Raya Nyepi ini dapat dimaknai sebagai ajang pengakuan dan pengikhlasan (Ngembak Geni). Artinya, sebagai manusia hendaknya mengakui kesalahan dan meminta atau memberikan maaf kepada sesame. Usai Nyepi, umat Hindu biasanya saling mengunjungi dan menjalankan tradisi maaf-maafan. Perayaan Hari Raya Nyepi memberikan pemahaman akan pentingnya toleransi dalam kehidupan umat manusia. Arti Hari Raya Nyepi lekat dengan kehidupan. Melakukan perenungan diri merupakan salah satu proses untuk memperoleh kesiapan hidup di tahun yang baru.
Mari kita maknai setiap hari raya yang kita lakukan, karena esensi kita beragama, mengenal tatwa agama ( filosofi dan konsepnya), memahami upacara ( yadnya dan ritualnya ), memaknai dengan etika (prilaku, sopan santun ) . sehingga kita bisa beragama secara sempurna dan paripurna.*)

*) Penulis

Drs.I Made Sila, M.Pd adalah dosen FKIP Dwijendra University yang saat ini menjabat sebagai WR II

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *