Membangun Bali harus dilakukan sesuai dengan tata ruang Bali yang didasarkan pada kearifan lokal dan budaya Bali yang mencakup masalah, potensi, peluang, dan ancamannya untuk periode waktu tertentu. Demikian disampaikan oleh Ketua Yayasan Dwijendra, Dr. I Ketut Wirawan, M.Hum. dalam sambutannya saat membuka Seminar Membangun Manusia Bali Berbasis Budaya di Yayasan Dwijendra, 17 Oktober 2023. Hadir sebagai nara sumber pada seminar tersebut adalah Dirjen Bimas Hindu, Kemenag Republik Indonesia, Prof. Dr. Drs. I Nengah Duija, M.Si. Strategi pembangunan dan pengembangan Bali dengan luas wilayah relatif kecil dan geografis yang spesifik agar tetap mampu mewujudkan keseimbangan dan keselarasan komponen-komponen yang tercakup di wilayah Bali. Filosofi Tri Hita Karana (THK) masih sangat relevan untuk semakin dimaknai dan diwujudnyatakan oleh pemerintah, masyarakat dan stakeholder lainnya guna menjaga keberlanjutan pembangunan Bali untuk generasi berikutnya. Atas dasar THK, keseimbangan dan keharmonisan membangun Bali agar diwujudkan dengan menjaga tiga komponen atau unsur penting, yaitu Alam Bali, Manusia Bali, dan Kebudayaan Bali yang mencakup agama Hindu, adat-istiadat, kearifan lokal, seni-budaya baik dalam bentuk sekala maupun niskala, ungkap Wirawan. Prof. Duija memaparkan bahwa landasan membangun Bali adalah sakralitas yg dilengkapi dengan kewajibannya. Selain itu, konsep selaras harus dibangun, seperti apa yg kita pikirkan, itu yang dikatakan, apa yg dikatakan itu yang diperbuat. Terdapat konsep wisesa menuju keluhuran budi, seperti THK, tri mandala, tri angga dan tri kaya parisuda yang harus dijaga kesuciannya yg dikelola berdasarkan suddha mandala, imbuh Prof. Duija. Pada seminar dengan materi yang berjudul “Seni Sakral sebagai Landasan Membangun Sumber Daya Manusia Bali siddhi, siddha, suddha dan saddhu dipandu oleh Rektor Dwijendra University, Gede Sedana, terungkap juga bahwa tantangan manusia Bali saat ini dan di masa mendatang adalah adanya hubungan sakralitas yang sudah mulai menurun, seperti misalnya pada acara perkawinan yang sudah bergeser pada nilai rasional, terlebih lagi segala persiapan dan pelaksanaannya telah disiapkan oleh EO. Duija juga menyebutkan bahwa pendidikan baik formal maupun non-formal harus dibekali dan didasarkan pada nilai-nilai agama , tradisi budaya, sehingga roh yang sudah digariskan oleh leluhur kita jangan sampai memudar dan bahkan hilang. Yayasan Dwijendra sebagai institusi pendidikan yang berbasis pada kebudayaan dan agama Hindu diharapkan menjadi bagian dari peningkatan kualitas manusia Bali, imbuh Duija. (Maulin)