Pro Kontra Pengesahan Undang-Undang Kesehatan Terkait Pengajuan Judicial Review

Sunarpos.com| Opini| Pada tanggal 11 Juli 2023, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) resmi mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi Undang-Undang Kesehatan dalam sidang paripurna DPR RI pada masa persidangan V Tahun 2022-2023. Regulasi sektor kesehatan Indonesia mengalami perubahan besar dengan disahkannya undang-undang ini. Pengesahan undang-undang ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap industri kesehatan Indonesia.

Undang Undang Kesehatan yang disahkan tersebut terdiri dari 20 bab dengan 458 pasal. Substansi yang termuat antara lain penguatan tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam pemenuhan kesehatan, penguatan pelayanan kesehatan primer, pemerataan fasilitas pelayanan kesehatan, serta transparansi proses registrasi dan perizinan tenaga medis.

Menurut Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menegaskan UU ini dibuat bukan untuk dokter atau Kementerian Kesehatan (Kemenkes). UU ini disebut berorientasi pada pemenuhan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Hal ini merupakan bentuk tanggungjawab negara terhadap kesehatan warga dan yang paling penting dalam regulasi ini adalah suara dari masyarakat.

Ada banyak pendapat yang berbeda tentang pengaruh undang-undang kesehatan baru yang disetujui, hal-hal tersebut meliputi:

  1. Kemudahan pemberian izin yaitu kemudahan pemberian izin dokter adalah salah satu masalah yang menjadi perhatian.
  2. Perubahan fokus yang telah berubah dari pengobatan menjadi pencegahan.
  3. Akses layanan kesehatan agar menjadi mudah.
  4. UU Kesehatan yang baru disahkan juga berdampak pada industri kesehatan.
  5. Adanya penghapusan alokasi anggaran menjadi poin yang diperdebatkan, dan
  6. Poin pelarangan iklan rokok yang juga menyebabkan kontroversi.

Selain itu Pengesahan RUU (Rancangan Undang-Undang) Kesehatan menjadi undang-undang dianggap pemerintah dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) mengabaikan aspirasi masyarakat sipil. Selain itu publik belum mendapat penjelasan terkait diterima atau tidaknya masukan dalam penyusunan RUU ini. Proses tidak transparan dan inklusif dalam penyusunan RUU Kesehatan. Di sisi lain, konsultasi publik singkat, minim, dan tertutup. Ini menyulitkan semua masukan masyarakat sipil terefleksi dalam UU tersebut

Dalam proses pengesahan UU tersebut, beberapa pihak telah mempermasalahkan poin-poin tersebut. Hal ini dianggap jika tidak sesuai dengan konstitusi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan terhadap hal tersebut adalah dengan mengajukan peninjauan hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK akan memeriksa apakah suatu undang-undang telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.

Berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91 Tahun 2020 tentang partisipasi publik bermakna, disebutkan tiga prasyarat pelibatan masyarakat secara bermakna, yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Tahapan proses pengujian konstitusionalitas adalah pihak yang merasa dirugikan atau berkepentingan dapat mengajukan permohonan judicial review ke MK untuk menguji konstitusionalitas UU Kesehatan Omnibus Law. Setelah itu MK akan melakukan pemeriksaan formal terhadap permohonan, memeriksa kelengkapan dokumen dan persyaratan formal. MK akan melakukan pemeriksaan materiil terhadap UU Kesehatan Omnibus Law, yaitu menentukan apakah itu konstitusional atau tidak. Tahapan selanjutnya adalah MK akan melakukan sidang untuk mendengarkan tuntutan pemohon dan pihak terkait serta mempertimbangkan bukti. Setelah pemeriksaan, MK akan memutuskan apakah UU Kesehatan Omnibus Law sesuai dengan konstitusi. Proses pengujian konstitusionalitas dilakukan untuk memastikan bahwa UU Kesehatan Omnibus Law tidak melanggar konstitusi. MK memainkan peran penting dalam memastikan bahwa hukum berlaku dan bahwa peraturan perundang-undangan Indonesia konsisten.

Oleh karena itu, upaya judicial review diharapkan dapat memastikan bahwa UU Kesehatan Omnibus Law tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam konstitusi dan dapat memberikan perlindungan yang lebih baik bagi masyarakat dan tenaga kesehatan. Selain itu, upaya judicial review juga dapat menjadi sarana bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan keberatan mereka terhadap UU Kesehatan Omnibus Law.*)

*)Penulis

    Dr. Ida Bagus Bayu Brahmantya, SH., MH.

  • Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Dwijendra
  • Ahli hukum perdata, konsultan hukum, advokat dan mediator
  • Pengurus PERADI Suara Advokat Indonesia – DPC Denpasar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *