Oleh : Agung Wibowo Dwi Cahyo
Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi dan Bisnis
Universitas Dwijendra
Dalam dinamika kinerja kepolisian RI, tahun 2022 merupakan tahun yang sangat menyakitkan bagi institusi Polri, karena terdapat satu kasus yang mendapat sorotan publik secara luar biasa, yakni kasus pembunuhan Joshua ajudan Kadiv Propam Kepolisian RI. Kasus ini melibatkan pimpinan Propam Kepolisian sehingga membuat citra kepolisian semakin terperosok. Citra kepolisian ke depan haruslah semakin baik, karena jika terus menerus mendapat celaan dan tidak dipercaya publik maka akan menimbulkan chaos dalam penegakan hukum.
Ditinjau dari sejarah, lahir dan tumbuh berkembangnya Polri tidak lepas dari sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Polri telah dihadapkan pada tugas-tugas yang unik dan kompleks. Selain menata keamanan dan ketertiban masyarakat di masa perang, Polri juga terlibat langsung dalam pertempuran melawan penjajah dan berbagai operasi militer bersama-sama satuan angkatan bersenjata yang lain.
Sejak dipisahkannya Polri dari ABRI pada 1 April 1999, sejak itu pula TNI dan Polri masing-masing menjadi instutisi yang terpisah dan mandiri. Sebagai bagian dari proses reformasi, maka kebijakan tersebut harus dipandang dan disikapi secara arif sebagai tahapan untuk mewujudkan Polri sebagai abdi negara yang profesional dan dekat dengan masyarakat.
Polri selaku sebuah institusi perlu terus membangun dan mengembangkan sinergitas kemitraan dengan berbagai pihak. Dalam melaksanakan tugasnya memberikan pelayanan prima bagi masyarakat, seperti penegakan hukum dan menjaga keamanan dalam negeri.
Untuk itu, Polri tidak bisa melakukannya sendiri dan Polri perlu bekerja sama serta membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Sesuai visi Polri yang mampu menjadi pelindung pengayom dan pelayan masyarakat yang selalu dekat dan bersama-sama masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang profesional dan proposional yang selalu menjunjung tinggi supermasi hukum dan hak azasi manusia. Pemelihara keamanan dan ketertiban serta mewujudkan keamanan dalam negeri dalam suatu kehidupan nasional yang demokratis dan masyarakat yang sejahtera.
Polri merupakan institusi pemerintah yang cukup gencar melakukan branding dan membangun citra ke masyarakat. Hal ini terlihat bahwa divisi humas Polri yang aktif menggunakan berbagai media sosial untuk menginformasikan keberhasilan kinerja Polri. Selain itu, acara televisi, seperti 86 digunakan untuk menunjukkan sepak terjang polisi dalam menjalankan tugasnya menghadapi kriminalitas.
Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW),Polri mengeluarkan dana paling banyak untuk promo media sosial dibandingkan institusi pemerintah lainnya. Disebutkan Polri menggelontorkan anggaran hingga Rp 937 miliar pada tahun 2020.
Strategi pencitraan positif yang dilakukan oleh Polri menekankan pada pendekatan humas. Ini berarti tindakan Polri yang rela mengeluarkan dana yang sangat besar untuk membangun pencitraan positif melalui aktivitas digital. Namun, upaya membawa pencitraan positif yang dilakukan oleh Polri tidak menjamin terjadinya peningkatan kepercayaan publik.
Penting bagi polisi mendapatkan citra positif agar kepercayaan publik terhadap polisi meningkat. Publik memiliki kepercayaan untuk menaruh keselamatan dan keamanannya pada tanggung jawab polisi dan polisi juga menunjukkan kinerja yang baik dalam menegakkan hukum. Hubungan yang baik antar keduanya akan otomatis membawa citra positif bagi Polri. Citra positif ini dapat dilihat dari persepsi masyarakat atas kinerja polisi, pemberitaan media, tulisan terkait polisi dan sebagainya.
Rumus untuk membangun citra positif Polri adalah kinerja polisi itu sendiri. Polri tidak perlu mengeluarkan dana hingga Rp 937 miliar untuk membangun citra karena kuncinya bukan berada pada pihak eksternal tetapi pada internal polisi melalui hasil kerjanya.
Seperti pada satu cuitan Divisi Humas Polri di Twitter. Pada cuitan tersebut, Polri mengajak masyarakat untuk tidak enggan melapor kejahatan kepada polisi. Pada sesi komentar, banyak masyarakat yang mengeluh kinerja polisi dalam memproses pelaporan kejahatan. Beberapa di antaranya juga menceritakan pengalaman pribadinya yang tidak memperoleh hasil dari pelaporan kejahatan pada Polri.
Kerja humas yang fokus menyuarakan keberhasilan Polri hanya akan menyembunyikan masalah kinerja Polri yang masih kurang optimal. Maka dari itu, usaha membangun citra positif Polri tidak akan menyelesaikan permasalahan utama untuk mendapatkan kepercayaan publik. Kinerja Polri yang tidak maksimal sebenarnya dipengaruhi oleh buruknya manajemen sumber daya manusia di tubuh Polri. Untuk itu, diharapkan masyarakat mendukung lembaga kepolisian yang sedang mereformasi guna mengembang tantangan tugas yang semakin berat dan komplek serta dan meningkatkan profesional anggotanya.
Untuk mewujudkan Polisi sebagai sahabat dan pelindung masyarakat, seorang anggota Polri harus memenuhi beberapa syarat, seorang anggota Polisi harus memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas, terutama yang berkaitan dengan tugas pokoknya sebagai alat keamanan dan penegak hukum, memiliki moral yang baik, baik moral agama maupun etika, sehingga dalam melaksanakan tugasnya tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan tercela yang bertentangan dengan moral agama dan etika serta memiliki keterampilan profesional, sehingga dalam melaksanakan tugasnya, baik dalam upaya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat atau dalam upaya penegakan hukum, mereka dapat melakukan dengan baik, tanpa membuat kesalahan sekecil apapun.