Sunarpos.com| Opini| Kerauhan merupakan suatu fenomena yang sering kita lihat pada setiap peringatan keagamaan Dewa Yadnya. Kerauhan ini dipercaya terjadi karena adanya roh yang memasuki badan seseorang. Masyarakat yang memeluk agama Hindu percaya bahwa Ida Bhatara turun mearasuk ke dalam tubuh seseorang. Masyarakat berpendapat, kalau belum ada orang yang kerauhan, upacara yang dipersembahkan belum dianggap mendapat anugerah dari Ida Bhatara.
Orang yang kerauhan “ dalam keadaan tidak sadar” biasanya menari-nari dan bahkan ada yang mengambil tombak. Hal ini tentu membahayakan pemedek yang bersembahyang. Orang kerauhan juga mengambil dupa yang menyala kemudian digosok-gosokkan di tubuhnya. Akibat dari itu, orang yang kerauhan terbakar kulitnya dan bahkan ada yang terluka karena tusukan keris.
Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi sekali, bahkan ada yang sampai tewas tertusuk keris. Di Media online telah diberitkan penari rangda tewas pada saat upacara Napak Pertiwi. Pada acara Napak Pertiwi, penari rangda kerauhan. Pada saat penari rangda sudah kerauhan, pemedek yang lain menusukkan keris ke dada penari rangda. Namun naas keris menembus dada penari rangda. Penari rangda tersungkur dan nyawanya tidak terselamatkan.
Kejadian itu sulit dinalisis secara logika. Mengapa itu bisa terjadi apakah penari rangda itu cuntaka atau bagaimana. Saat ini fenomena kerauhan banyak diunggah dalam media sosial. Unggahan itu menuai pro dan kontra. Sebelum mengunggah konten semacam itu, sebaiknya perlu dipikirkan apakah konten tersebut mempunyai nilai positif atau negatif. Jangan hanya untuk mendapatkan follower yang banyak, seseorang getol mengunggah konten semacam itu. Hal ini akan bisa mendapat cibiran dari penganut agama yang lain.
Fenomena kerauhan ada pada setiap upacara atau wali. Biasanya pada saat upacara di pura, ada pementasan calon arang. Pada pementasan ini banyak orang yang kerauhan. Untuk mengantisipasi penari terluka sebaiknya pada saat pementasan calon arang, pihak desa atau panitia wali menyediakan layanan kesehatan untuk mengantisipasi jatuhnya korban pada saat pementasan calon arang.*)
*) Penulis
Putu Rita Kusuma Dewi
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah, FKIP, Dwijendra University