Sunarpos.com| Opini| Anak merupakan generasi penerus suatu bangsa yang membutuhkan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan mental, fisik, dan sosial yang baik. . Untuk itu, perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa perlakuan diskriminatif.
Eksploitasi anak adalah salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia, sehingga bentuk perlindungan hukum hak asasi manusia terhadap anak korban perdagangan manusia atau trafficking, kekerasan, pemerkosaan, penculikan, dan prostitusi. Eksploitasi anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memberi perlindungan secara abstrak atau perlindungan tidak langsung. Untuk itu, perlindungan kepada anak sebagai bentuk pengimplementasiannya pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian dilakukan perubahan terhadap beberapa ketentuannya menjadi Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tujuan dibentuknya Undang-Undang tentang Perlindungan Anak adalah untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan fisik, emosional, sosial dan seksual, penelantaran, tindakan membahayakan, eksploitasi: ekonomi, seksual, dan diskriminasi karena latar belakang ekonomi, politis, agama, sosial budaya, dan orang tuanya sehingga hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal, mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi agar terwujud anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak, dan sejahtera.
Menurut Pasal 13 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 atas perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa eksploitasi anak adalah perbuatan yang betujuan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk keuntungan pribadi, keluarga atau golongan.
Salah satu fenomena anak yang kontroversial adalah semakin maraknya eksploitasi anak. Adapun arti dari eksploitasi tersebut di atas meliputi:
- Penggunaan atau pengerahan tenaga kerja sebagai buruh industri atau usaha lain sebagai tenaga murah sehingga mengorbankan kebutuhan emosional atau mental, fisik anak, sehingga menimbulkan hambatan fisik, mental dan sosial.
- Merupakan keuntungan sepihak yaitu si pemakai tenaga kerja atau si pelaku eksploitasi anak.
- Penggunaan bayi untuk pengemis sesungguhnya sangat mengetuk hati nurani. Orang memberi karena rasa kasihan kepada bayi, tetapi hasilnya tidak untuk si bayi melainkan untuk pelaku eksploitasi anak tersebut.
Dapat diperjelas bahwa eksploitasi anak yaitu perbuatan yang menghilangkan hak-hak anak. Bentuk-bentuk dari eksploitasi anak yaitu eksploitasi secara seksual dan ada pula eksploitasi secara ekonomi. Eksploitasi anak secara seksual dapat berupa bujukan atau paksaan kepada anak untuk untuk terlibat dalam aktivitas seksual yang melanggar hukum, penggunaan anak secara eksploitatis dalam pelacuran atau praktik seksual yang melanggar hukum dan penggunaan anak secara eksploitatif dalam pertunjukan dan materi pornografi. Sedangkan Eksploitasi anak secara ekonomi berupa untuk dipekerjakan yang tidak semestinya sebagai seorang anak, seperti diipekerjakan sebagai pekerja domestik, dipekerjakan di tempat hiburan, dipekerjakan menjadi pekerja seks, dipekerjakan sebagai pengemis, dipekerjakan untuk konsumsi kaum pedofilia dan adopsi palsu untuk kepentingan yang tidak jelas. Dari berbagai bentuknya yang mana dari berbagai hal diatas dimanfaatkan keuntungannya bagi pihak yang mengeksploitasi anak tersebut.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya eksploitasi anak yaitu:
- Faktor individu yang mana bisa dari pelaku eksploitasi atau bahkan dari anaknya itu sendiri yang berkeinginan melakukannya.
- Faktor keluarga dalam hal ini kurangnya keluarga dalam memberikan pengetahuan terhadap anaknya, kemudian bisa juga dipengaruhiu oleh keluarga yang tidak harmonis sehingga terjadinya perceraian dan memicu anak tersebut menjadi broken home, bahkan bisa juga pergi dari rumahnya, dari hal ini dapat dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab dengan cara mengiming-imingi anak tersebut untuk terjun di dunia malam demi kebutuhan ekonomi bahkan tak jarang hal ini terjadi karena kemauan anak itu sendiri.
- Faktor ekonomi yang biasanya disebabkan karena kondisi ekonomi dalam keluarga yang tidak mencukupi sehingga mengeksploitasi anak salah satunya dengan memperdagangkannya (human trafficking) demi mencukupi kebutuhan ekonominya.
- Faktor pendidikan, karena peran pendidikan sangatlah penting bagi anak untuk menambah pengetahuan dan intelektualnya dalam kehidupan. Tak hanya itu pentingnya pula pendidikan bagi pelaku eksploitasi anak supaya hal ini tidak terjadi sehingga tidak merugikan hak seorang anak, karena biasanya yang menjadi pelakunya yaitu orang tuanya sendiri untuk melakukan tindak kejahatan tersebut demi membantu kebutuhan ekonominya.
- Faktor lingkungan, dalam artian manusia hidup selalu berdampingan dengan manusia lain atau hidup bermasyarakat. . Faktor lingkungan di dalam masyarakat, seorang itu harus mentaati segala peraturan yang hidup di dalam masyarakat termasuk juga norma hukum yang berlaku. Namun, di tengah-tengah masyarakat tersebut ada pula yang tidak mentaatinya.
- Faktor perkawinan dini, di indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menentukan bahwa usia menikah bagi perempuan adalah 16 tahun. Namun, dalam kenyataannya mereka yang belum berumur 16 tahun dengan izin dari orangtua atau pengadilan bahkan dengan cara menaikkan umur tetap dapat melangsungkan perkawinan. Perkawinan yang terlalu dini dapat menyebabkan tingginya perceraian dan kondisi ini sangat rentan untuk terjadinya trafficking. Dengan bercerai maka perempuan harus menghidupi dirinya sendiri bersama anak-anaknya (jika sudah mempunya anak) serta dengan keterbatasan pendidikan dan keterampilan mereka, sehingga sedikit pilihan untuk kerja, terlebih lagi karena usia muda mereka yang sering kali tidak disiapkan secara emosi, ekonomi, dan sosial untuk hidup dan menghidupi diri sendiri. Dari hal ini tak menutup kemungkinan karena keterbatasan keterampilan dan pendidikan maka mereka bisa jadi akan masuk ke ranah prostitusi atau pelacuran.
- Faktor lemahnya penegakan hukum, ha ini disebabkan karena kurangnya pemahaman aparat penegak hukum dalam menyikapi kasus eksploitasi terhadap anak, atau bisa dibilang masih menganggap hal ini adalah hal yang biasa. Misalnya kasus-kasus perdagangan anak untuk tujuan prostitusi atau pelacuran sekarang ini sudah pada tahap tingkatan yang mengkhawatirkan. Akan tetapi aparat penegak hukum pada umumnya masih banyak yang menganggap persoalan perdagangan anak untuk prostitusi atau pelacuran merupakan masalah biasa, bukan merupakan suatu bentuk kejahatan yang serius terhadap manusia.
Dari hal-hal yang menyebabkan terjadinya eksploitasi anak merupakan perbuatan melanggar hukum yang harus diberantas karena tidak sesuai dengan terjaminnya Hak Asasi Manusia terkhususnya pada anak, hal ini telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 atas perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam hal ini seharusnya lembaga penegak hukum lebih tegas lagi dalam melaksanakan tugasnya untuk menangani kasus kejahatan eksploitasi anak karena jika dilihat memang masih banyak di pinggir jalan maupun di lampu merah ada pihak pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengeksploitasi anak dengan cara merampas haknya, salah satunya untuk dijadikan pengemis di jalanan.
Upaya yang dapat dilakukan mulai dari keluarga dan masyarakat dalam pecegahan eksploitasi anak yaitu mendukung keberlanjutan pendidikan untuk anak setelah lulus sekolah dasar, merubah sikap dan pola fikir keluarga dan masyarakat terhadap eksploitasi anak, peningkatan partisipasi pendidikan anak- anak baik formal maupun nonformal, memperbaiki kualitas pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas untuk memperluas angka partisipasi anak dalam berpendidikan.
Orang tua, keluarga dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak-hak anak sesuai dengan kewajiban yang dibebankan hukum. Pertanggungjawaban tersebut merupakan rangkaian kegiatan yang harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial.
Kemudian, diharapkan pula kepada pemerintah untuk melindungi atas hak anak terkait korban kekerasan, perdagangan anak, bahkan eksploitasi anak sebagaimana diatur dalam instrumen perundang-undangan yang seharusnya para penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya mampu menegakkan keadilan secara profesional. Selain itu perlu penguatan peran lembaga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang telah ada saat ini, sehingga benar-benar memberikan perlindungan yang lebih baik dan lebih komprehensif terhadap anak-anak Indonesia. *)
*) Penulis
Hafidz Wahyudin
Mahasiswa Universitas Gunung Jati yang sedang melakukan pertukaran pelajar di Dwijendra University