Perlu Kebijakan Produktif Subak untuk Kendalikan Alih Fungsi Lahan Sawah

Sunarpos.com| Karangasem | Pembangunan ekonomi Bali yang memiliki laju pertumbuhan tinggi, khususnya sebelum Pandemi Covid19 memberikan implikasi terhadap terjadinya alih fungsi lahan sawah terutama di dalam kawasan kota-kota dan di sekitarnya. Alih fungsi lahan sawah yang berdampak terhadap keberadaan subak-subak sangat sulit untuk dihentikan, tetapi hanya bisa dikendalikan laju perubahannya oleh pemerintah guna mengajegkan eksistensi subak-subak tersebut. Demikian disampaikan oleh Rektor Dwijendra University, Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc.MMA. saat memberikan tanggapan peserta yang berkenaan dengan keberadaan subak dan alih fungsi lahan sawah pada acara penutupan Bali International Field School for Subak ke -8, di Jero Tumbuk, Desa Selat, Kabupaten Karangasem pada Jumat, 2 September 2022, yang dihadiri juga oleh Dr. Ir. Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati, M.Si. selaku Wakil Gubernur Bali.


Sedana yang juga selaku Ketua DPD HKTI Bali mengungkapkan bahwa terdapat berbagai pertimbangan strategis yang akhirnya “memaksa” terjadinya alih fungsi lahan tersebut, baik pada diri para petani, pemilik lahan dan pemerintah. Selain itu, ditemukan juga beberapa alasan yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah dan memiliki kontribusi terhadap keberadaan subak sebagai sistem irigasi dan salah satu pilar budaya Bali, selain desa adat. Alasan-alasan tersebut, di antaranya adalah adanya alih profesi petani menjadi pekerja di luar sektor pertanian yang lebih menjanjikan atau memberikan penghasilan yang lebih tinggi. Daya tarik pekerjaan yang tersedia tersebut awalnya menyebabkan para petani meninggalkan paruh waktu pengelolaan usahataninya, kemudian secara permanen beralih profesi sehingga lahan sawahnya tidak dikelola secara intensif dan bahkan menjadi lahan tidur sebalum akhirnya dijual atau dikontrakan. Ini berarti alih profesi mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan sawah karena alasan ekonomis, dimana penghasilan dari usahatani di lahan sawah dirasakan relatif rendah, imbuh Sedana.


Sedana yang pernah mengikuti Pendidikan Program Magister di Ateneo de Manila University, Filipina selanjutnya mengatakan bahwa tingginya pertumbuhan ekonomi di Bali juga memberikan konsekuensi terhadap alih fungsi lahan sawah, yaitu melalui pembangunan atau konstruksi bangunan seperti perumahan dan permukiman, perkantoran baik swasta maupun pemerintah dan konstruksi infrastruktur lainnya yang berlokasi pada lahan-lahan sawah produktif. Oleh karena itu, dalam jangka pendek dan menengah, laju pertumbuhan alih fungsi lahan sawah harus dapat dikendalikan oleh berbagai pihak sesuai dengan kapasitas dan kewenangannya masing-masing. Pemerintah, misalnya, agar dapat memperkuat pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan dan bahkan menyusun kebijakan produktif di tingkat subak guna memberikan motivasi dan insentif bagi petani anggota subak untuk mengelola usahataninya yang menguntungkan secara ekonomis dan tetap menjaga sosial-budaya serta lingkungan alamnya.


Gede Sedana yang telah puluhan tahun berkecimpung dalam proyek-proyek internasional berkenaan dengan pertanian sangat mendukung kegiatan Bali International Field School for Subak tersebut yang secara konsisten diselenggarakan oleh Bumi Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI/Indonesian Heritage Trust) bekerjasama dengan mitra lokal Yayasan Bali Kuna Santi terus konsisten mengawal kelestarian pusaka saujana subak sejak tahun 2015. Terlebih lagi pada BIFSS ke 8 kali ini dihadiri juga oleh peserta dari berbagai negara yang tergabung dalam World Planning School Congress (WPSC) dan 16th Asian Planning School Congress (APSC).

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *