Terbitnya PP No. 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, polemik pun mulai
muncul, merebak, dan berkembang luas di masyarakat. Keberadaan PP ini rupanya melahirkan kritikan pedas dan penolakan keras dari berbagai kalangan, khususnya mereka yang fokus perhatiannya di bidang pendidikan. Disengaja atau tidak, bahwa terbitnya PP tersebut telah menghapuskan atau menghilangkan Pancasila sebagai muatan wajib kurikulum mulai dari jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Ketentuan penghapusan Pancasila dari muatan wajib kurikulum dapat diketahui dari bunyi Pasal 40 Ayat 2 dan 3 PP No. 57 Tahun 2021. Di dalam ketentuannya itu disebutkan, bahwa kurikulum pendidikan dasar dan pendidikan menengah memuat pendidikan agama; pendidikan kewarganegaraan; bahasa; matematika; ilmu pengetahuan alam; ilmu pengetahuan sosial; seni dan budaya; pendidikan jasmani dan olahraga; keterampilan/kejuruan; dan muatan lokal. Sedangkan untuk kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat pendidikan agama; pendidikan kewarganegaraan; dan bahasa. Tidak dimasukannya Pancasila dalam muatan wajib kurikulum tentu saja memunculkan tanggapan miring, protes, hingga kecaman dari berbagai pihak yang peduli dengan kondisi bangsa Indonesia.
Persoalan paling mendasar tidak dimasukannya Pancasila dalam kurikulum pendidikan tinggi bukan hanya dijumpai pada Pasal 40 ayat (2) dan (3) PP No. 57 Tahun 2021, melainkan juga di Pasal 37 ayat (1) dan (2) UU No. 20 Tahun 2003. Berlainan dengan Pasal 35 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2012 yang mewajibkan Pancasila masuk sebagai mata kuliah berdiri sendiri dalam kurikulum pendidikan tinggi. Dari perspektif hukum, tidak dimasukannya Pancasila dalam kurikulum wajib dipendidikan tinggi sebagaimana diatur PP No. 57 Tahun 2021 jelas sebuah kekeliruan besar. Karena problematika ini muncul pada tataran norma peraturan perundang-undangan, maka penyelesaiannya harus dilakukan secara legal-konstitusional. Persoalan itu dapat dicermati dari terjadi konflik norma antara UU No. 12 Tahun 2012 dengan PP No. 57 Tahun 2021, maka mau tidak mau, pengujian peraturan perundang-undangan harus dilakukan (yudicial review). Tindakan yudicial review memiliki landasan yang sangat kuat dalam menjaga dan menyelaraskan peraturan hukum yang berlaku.
Selain melalui yudicial review, penyelarasan norma hukum peraturan perundang-undangan antara PP No. 57 Tahun 2021 dengan UU No. 12 Tahun 2012 dapat dilakukan dengan executive review. Pengujian oleh lembaga eksekutif (executive review) dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga eksekutif sendiri. Jadi PP No. 57 Tahun 2021 adalah produk hukum yang dibuat dan dihasilkan oleh Pemerintah sebagai lembaga eksekutif.
Lain daripada itu, dalam sistem hukum di Indonesia dikenal pula istilah political review or legislative review. Legislative review dan executive review adalah upaya yang dapat dilakukan untuk mengubah suatu undang-undang melalui lembaga legislatif berdasarkan fungsi legislasi yang dimilikinya. Bahkan pihak legislatif dapat menciptakan undang-undang baru yang mengatur persoalan sama dengan tujuan menggantikan keberlakuan suatu norma sebelumnya. Legislatif di Indonesia menurut Pasal 20 UUD 1945 adalah DPR dan Presiden. Dua lembaga inilah yang memiliki kompetensi untuk mengajukan, merevisi, mengubah, dan membentuk UU baru. Terkait pengaturan muatan wajib kurikulum dalam UU No. 20 Tahun 2003 khususnya untuk pendidikan tinggi, DPR dan Pemerintah sebenarnya telah menggunakan fungsi legislatifnya. Fungsi Legislatif yang dimaksud adalah dengan membentuk sebuah undang-undang baru yang secara khusus mengatur tentang pendidikan tinggi, yaitu UU No. 12 Tahun 2012. Dalam UU tersebut secara tegas menyebutkan Pancasila sebagai salah satu mata kuliah wajib dalam kurikulum pendidikan tinggi, selain agama, kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia.*)
*) Penulis
I Gusti Ngurah Santika, S.Pd., M.Pd
Mahasiswa Pascasarajana Program Doktor Universitas Pendidikan Ganesha.