Sunarpos.com| Opini| Dua kegiatan ini ngalih balang (menangkap balang) dan ngalih capung (menangkap capung) merupakan kegiatan rutin yang dilakukan anak-anak zaman dulu. Anak-anak bersama teman-temannya mencari belalang dan capung untuk mengisi waktu luang. Belalang ditangkap dengan menggunakan tangan tanpa bantuan alat. Belalang yang sudah ditangkap dimasukkan ke dalam ketupat. Belalang ini dijadikan lauk pauk dengan cara digoreng dan dibumbui kesuna cekuh. Menurut ahli gizi, kandungan protein belalang sangat tinggi. Tidak semua belalang dapat dimakan. Balang yang umum dimakan adalah belalang undis. Belalang ini umumnya suka memakan daun undis. Ukuran belalang ini cukup besar.
Disamping ngalih balang, kegiatan lain yang disukai anak-anak zaman dulu adalah ngalih capung. Ngalih capung dapat dilakukan dengan tangan tanpa bantuan alat tetapi untuk menangkap capung tanpa bantuan alat agak susah dilakukan. Untuk mendapatkan capung yang banyak, digunakan lidi dari daun kelapa atau daun aren. Lidi ini diisi getah (engket) dari pohon nangka atau pohon yang sejenis. Untuk mendapatkan capung yang banyak, alat yang digunakan untuk menangkap capung dapat berupa sabang. Sabang adalah pelepah kelapa yang telah dihilangkan daunnya sehingga pelepah kelapa itu berbentuk jari. Lidi-lidi itulah yang diisi getah pohon nangka.
Cara menangkap capung dengan menggunakan satu lidi dilakukan dengan menempelkan lidi yang telah diisi getah ke tubuh capung yang sedang hinggap di ranting pepohonan. Sebaliknya menangkap capung dengan menggunakan sabang dilakukan dengan mengayun-ayunkan sabang ke arah kerumunan capung yang sedang terbang. Biasanya capung bergerombol terbang memutar-mutar ketika menjelang hujan. Capung hasil tangkapan dapat dijadikan lauk-pauk. Capung digoreng dan dibumbui kesuna cekuh. Atau dapat juga dijadikan pepes.
Dua kegiatan tersebut tidak dilakukan oleh anak-anak pada saat ini. Hal ini diakibatkan oleh dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, ekosistem kedua insekta tersebut telah rusak sehingga jumlah belalang dan capung semakin sedikit. Capung dan belalang biasanya hidup di persawahan sedangkan persawahan semakin banyak beralih fungsi menjadi perumahan. Hal ini merusak ekosistem kedua insekta tersebut. Anak tidak dekat dengan lingkungan alam karena alam telah beralih fungsi menjadi pemukiman atau perindustrian. Masifnya peralihan fungsi persawahan memutus rantai pengetahuan dan kegiatan yang berbasis alam yang dilakukan oleh anak-anak.
Kemungkinan kedua, perhatian anak pada saat ini tidak kepada permainan tradisional. Anak-anak lebih menyukai permainan yang berbasis teknologi. Hadirnya permainan berbasis teknologi akan menjauhkan anak dari lingkungannnya (lingkungan alam). Setelah selesai belajar di sekolah, anak banyak menghabiskan waktu hanya dengan bermain game online. Ini tentu menyebabkan anak buta akan ekoliterasi. Akibatnya anak tidak peka terhadap keadaan lingkungan. Anak tidak memiliki rasa tanggung jawab dalam memelihara alam.
Sebagai catatan kecil , dari kedua kegiatan ngalih balang dan ngalih capung ada lima kosa kata bahasa Bali yang harus diketahui anak yaitu balang, capung, engket, lidi, dan sabang. Mungkin anak-anak sekarang tidak mengenal atau hanya mengenal beberapa dari lima kosa kata tersebut. Jika ini terjadi perlahan namun pasti, kosa kata bahasa Bali semakin berkurang akibat rusaknya ekosistem. Bisa jadi kosa kata tersebut akan diinventarisasi sebagai kosa kata yang pernah dipakai tetapi suatu saat kosa kata tersebut tidak lagi digunakan dalam kehidupan sehari-hari. *)
*) Penulis
I Ketut Suar Adnyana
Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah, FKIP, Dwijendra University
Wakil Rektor I Dwijendra University