MEMAKNAI TAHUN BARU DAN SIWARATRI PADA ERA PANDEMI

Oleh  AAG. Putera Semadi

Dalam catatan perjalanan sejarah peradaban Hindu dari masa lampau hingga sekarang sangat langka terjadi peristiwa tibanya waktu yang besamaan antara menyongsong datangnya tahun baru dengan perayaan Hari Suci Siwaratri.  Kedua bentuk aktivitas sosial dan religius ini saling memiliki arah, tujuan, bahkan makna masing-masing yang mau tidak mau harus kita lalui. Datangnya tahun baru selain sering diidentikkan  dengan keramaian, kemeriahan, pesta kembang api, pesta pora,   beragam lomba olah raga dan seni spektakuler, juga tidak sedikit ditandai dengan kejadian alam seperti hujan badai tiada henti, banjir bandang, tanah longsor, erupsi dan letusan gunung berapi. Demikian pula konflik sosial silih berganti seperti pemerkosaan, penganiayaan, perampokan, pencurian, kecelakaan lalu lintas, pembunuhan, tawuran pemuda, sampai kepada penculikan anak-anak.  Sementara itu,  pada  Hari Suci Siwaratri dilaksanakan pemujaan yang kusuk terhadap Dewa Siwa dengan brata/pengendalian diri yakni mona, upawasa, dan jagra. Kita menemukan kedua peristiwa langka tersebut terjadi pada awal tahun ini, 1 Januari 2022.  Lalu, bagaimana kita mesti  memaknainya pada era pandemi ini? Tentu kita harus kembali kepada potensi masing-masing dalam  menuntun sang diri untuk menemukan jawabannya di dalam citta dan hati nurani.

Kebiasaan menyambut datangnya tahun baru dominan didorong oleh  sifat-sifat keduniawian (rajasik dan tamasik), sedangkan perayaan Hari Suci Siwaratri diwarnai dengan semangat karakteristik satwika, jnana, eling ring angga papa, bakti ring Sang Hyang Maha Sunia yaitu Siwa Mahadewa. Umat sedharma pada saat Siwaratri dengan senang hati melaksanakan Tapa, Brata, Yoga, Samadhi, serta Yasa Kerthi kehadapan Ida Sang Hyang Widhi, sehingga segala yang menyebabkan kegelapan hatinya (Sad Ripu, Sad Atatayi, Sapta Timira, dll.)  lambat laun menjadi sirna. Sad Ripu terdiri atas: Kama (nafsu), Lobha (tamak), Krodha (marah), Moha (bingung), Mada (mabuk), dan Matsarya (dengki). Sad Atatayi terdiri atas: Agnida: (membakar milik orang lain), Wisada (meracun), Atharwa (melakukan ilmu hitam), Sastraghna (Mengamuk), Dratikrama (memperkosa), dan Raja Pisuna (Memfitnah). Sapta Timira terdiri atas: Surupa (sifat gelap karena merasa wajah tampan/cantik), Dhana (gelap karena kekayaan), Guna (gelap karena kecerdasan), Kulina (gelap karena keturunan), Yowana (gelap karena usia muda),  Sura (gelap karena kemabukan, ambisi), dan Kasuran (gelap karena keberanian). Tujuan akhir mengendalikan atau menyirnakan sifat – sifat kegelapan itu adalah kebebasan dari ikatan dosa dan papa sehingga bisa bersatu dengan-NYA (Tan hana beda awakta lawan sariraninghulun).  Hanya mereka yang telah berhasil mencapai pengetahuan spiritual ini disebut seorang Yogi  karena mampu menemukan/mencapai  Jati Diri.

Era pandemi Covid-19 sebetulnya bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk melakukan Brata Siwaratri yang lebih kusuk, individual, terlepas dari kebisingan, dan hiruk pikuk keramaian kota. Mengapa demikian? karena banyak aktivitas sosial budaya yang sifatnya kesemestaan dibatasi ruang geraknya. Jadi suasana religiusitas setiap umat sedharma bisa dituntun menjadi lebih terarah. Dengan demikian,  komunikasi kebaktian bathin umat ketika menyembah Sang Hyang Siwa pada malam Siwa yang suci ini (Siwaratri) akan  merasa lebih ening, eneng, dan oneng. Tahun Baru di era pandemi tidak pernah menyurutkan aksi religiusitas umat Hindu untuk melaksanakan Brata Siwaratri, karena brata ini sangat mulia dan dapat membuat hidup menjadi bahagia. Siwa selain berarti bijak dan  sejahtera, juga berarti sadar.  Orang yang tidak sadar berarti sawa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *