Joged merupakan karya seni yang digandrungi masyarakat. Dahulu seni ini dianggap sebagai seni pergaulan. Ada proses perkenalan antara penari dengan penonton yang ditunjuk untuk ikut menari. Penari yang ditunjuk disebut dengan pengibing. Sebelum menari,penari mengikatkan selendang di pinggang penari dan dilanjutkan dengan berjabatan tangan. Penari dan pengibing menari bersama-sama mengikuti irama gamelan yang terbuat dari bambu. Tidak berselang lama pengibing mengakhiri tariannya dengan membuka selendang. Selendang itu diberikan kepada penari. Pengibing dan penari kembali berjabat tangan. Proses seperti inilah merupakan ciri khas dari tari joged. Semua daerah di Bali memiliki tari joged. Secara umum pakem joged di Bali adalah sama.
Tarian joged biasanya ditampilkan pada even perayaan ulang tahun, tiga bulanan bayi, pernikahan bahkan pada even festival yang diadakan oleh setiap kabupaten dan kota di Bali.
Tarian joged telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda oleh UNESCO dalam Sidang ke-10 Komite Warisan Budaya Tak Benda di Windhoek, Namibia, Rabu (2/12/2015) kemarin. Pengakuan tari joged sebagai warisan budaya oleh UNESCO tentu membanggakan bagi masyarakat Bali. Sejalan dengan perkembangan teknologi digital, masyarakat dengan mudah menonton tarian joged di media sosial. Namun sangat disayangkan beberapa tampilan joged lebih menonjolkan gerakan-gerakan yang erotis. Hal ini merupakan bentuk eksploitasi tari joged. Gerakan erotis yang ditampilkan tentu melanggar pakem tari joged.
Tampilan joged yang erotis mudah didapat di you tube. Penari dan pengibing menari dengan gerakan erotis bahkan pengibing meraba-raba daerah sensitif penari. Ketika menari penari mengangkat kain (kamen) dengan tinggi sehingga pakaian dalam terlihat dengan jelas. Eksploitasi seperti ini akan berdampak negatif terhadap eksistensi joged.
Tarian joged tidak saja ditonton oleh pemuda dan orang tua, tetapi juga ditonton oleh anak-anak. Anak yang masih lugu disuguhi tarian seperti ini tentu berdampak negatif terhadap perkembangan psikologis anak. Dinas kebudayaan hendaknya melakukan pembinaan terhadap sekaa joged yang melanggar pakem joged. Meskipun Gubernur Bali menerbitkan Surat Edaran No.6669 Tahun 2021, sebagai upaya melindungi dan melestarikan kesenian Joged Bumbung sesuai dengan pakem tari Bali, nilai-nilai adat, tradisi, seni budaya, dan kearifan lokal Bali. Namun masih ada pementasan dan tayangan tari joged bumbung yang vulgar
Pertunjukkan tari joged vulgar, erotis dan rada-rada buang mengakibatkan citra negatif melekat pada tarian joged. Beberapa orang tua yang mempunyai anak gadis tidak mengizinkan putrinya untuk mempelajari tari joged. Hal ini tentu memprihatinkan. Stigma masyarakat terhadap tari joged memang susah diubah. Perubahan stigma masyarakat memerlukan waktu yang cukup lama. Agar eksploitasi terhadap keberadaan tari joged, Dinas Kebudayaan Bali telah melakukan pembinaan terhadap sekaa joged sehingga pementasan tari joged sesuai dengan pakemnya. Walaupun ada inovasi dalam tarian, jangan sampai tarian itu dieksploitasi mengarah pada pornografi. Tujuan sekaa joged melakukan eksploitasi tentu untuk menarik penonton. Ada kecederungan joged yang pementasannya vulgar,erotis dan rada-rada buang mendapatkan orderan menari lebih tinggi dari pada sekaa yang mengikuti pakem taria joged.
Sinergi antara masyarakat dengan sekaa joged perlu dilibatkan dalam mengatasi masalah ini. Masyarakat jangan menuntut yang aneh-aneh kepada penari. Jadikan penari sebagai pegiat seni yang mempunyai harkat dan martabat. Jangan masyarakat melecehkan tarian joged dengan melecehkan penarinya. Demikian juga penari joged, hendaknya menolak tawaran untuk menari dengan menampilkan tarian yang agak vulgar, erotis dan rada-rada buang.
Penulis:
Dr. I Ketut Suar Adnyana, M.Hum
Wakil Rektor I Bidang Akademik Dwijendra University dan Dosen di Program Studi Bahasa Indonesia dan Daerah, FKIP, Dwijendra University