Sunarpos.com| Opini|
Peristiwa bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar dan penyerangan terduga teroris di Mabes Polri membuktikan bahwa eksistensi paham radikal masih kuat di Indonesia. Kedua kejadian itu menambah keresahan masyarakat akibat pandemi covid 19. Walaupun aparat keamanan telah melakukan tindakan berupa penangkapan dan perburuan teroris tampaknya gerakan radikalisme masih sangat kuat dan ditengarai sudah menyusup ke perguruan tinggi dan menyasar siswa. Hal ini tentu sangat membahayakan bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Gerakan radikalisme untuk merongrong Ideologi Pancasila perlu diantisipasi. Disamping menghancurkan jaringan teroris, langkah yang sangat mendesak dilakukan adalah melakukan internalisasi anti radikalisme kepada siswa maupun mahasiswa. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengingatkan perguruan tinggi bahwa banyak mahasiswa mulai terpapar paham radikal dan penetrasi paham radikal sudah menyusup di kalangan siswa. Untuk membentengi mahasiswa dan siswa dari paham radikal, kampus dan sekolah lebih intensif memberikan pemahaman nilai-nilai agama, sosial budaya, dan menumbuhkan rasa nasionalisme kepada siswa dan mahasiswa.
Usulan DPR RI untuk memberikan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila patut diapresiasi. Hal ini untuk mengantisipasi paham radikal masuk dalam dunia pendidikan. Ketika masa pemerintahan Orde Baru mata pelajaran PMP merupakan mata pelajaran yang wajib diberikan kepada siswa. Setiap penerimaan siswa dan mahasiswa baru masa orientasi sekolah dan kampus semua siswa dan mahasiswa diwajibkan mengikuti penataran P4. Gerakan internalisasi nilai-nilai Pancasila melalui P4 begitu masif diberikan. Begitu masa reformasi bergulir segala hal yang berbau Orde Baru diberangus termasuk program penataran P4.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, internasilasi nilai-nilai Pancasila melalui P4 lebih menekankan pada hafalan saja. Penataran dilaksanakan bisa lebih dari seminggu. Hal ini tentu sangat menjenuhkan tetapi perubahan perilaku dan sikap tidak signifikan. Penataran P4 lebih dianggap sebagai program doktrin dari Pemerintah Orde baru.Dengan alasan inilah pelaksanaan penataran P4 ditiadakan. Ketika masa pemerintahan Orde Baru, tujuan mempelajari PMP membentuk manusia yang pancasilais. Ini merupakan tujuan yang bersifat utopia. Apa kriteria manusia Pancasialis masih sangat gamang. Apakah memang ada manusia yang Pancasilais. Faktanya KKN pada masa itu merajalela. Tujuan membentuk masyarakat yang pancasilais tampaknya merupakan angan-angan yang sulit dicapai.
Kebijakan peniadaan penataran P4 diambil tidak dengan pemikiran yang matang. Seharusnya dilakukan kajian terlebih dahulu secara mendalam. Kalau yang dianggap tidak tepat itu adalah metode maupun cara mengiternalisasi P4, tentu yang diperbaiki adalah metode penyampaiannya bukan meniadakan P4.
Mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) telah dihapus sejak diberlakukan kurikulum tahun 1994. Keberadaan mata pelajaran PMP merupakan amanat Ketetapan MPR No. IV tahun 1973 yang disempurnakan pada tahun 1978 dan 1983. Akibat ketiadaan PMP, generasi muda bangsa seperti kehilangan pegangan ideologi. Sehingga gampang disusupi ideologi yang tidak sejalan dengan jati diri bangsa. Padahal, Pancasila yang digali Bung Karno bersumber dari jati diri bangsa Indonesia.
Berdasar pada beberapa kajian ada degradasi moral di kalangan generasi muda. Fenomena ini memudahkan generasi muda terpapar paham radikal. Hal ini tentu berdampak negatif bagi siswa dan mahasiswa. Ini ancaman terhadap keberadaan NKRI. Masa depan NKRI terletak pada pundak generasi muda. Untuk menguatkan dan menginternalisasi Ideologi Pancasila Presiden Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). BPIP mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila
Internalisasi Ideologi Pancasila seharusnya dilakukan terutama di sekolah dengan memberikan mata pelajaran PMP. Pola pembelajaran PMP tidak seperti pada masa Orde Baru. Pembelajaran PMP dilakukan dengan lebih banyak memberikan siswa fakta kehidupan yang dialami oleh siswa ketika berinteraksi di sekolah, di rumah, dan di masyarakat. Fakta-fakta itu dikaji oleh siswa sehingga siswa mempunyai pemahaman yang baik mengenai implementasi nilai Pancasila dalam berkehidupan bermasyarakat.
Tujuan pembelajaran PMP diarahkan untuk mengasah kompetensi afektif siswa. Siswa diharapkan mempunyai kepekaan sosial dan emosional dalam bersosialisasi. Kepekaan sosial dan emosional siswa akan tumbuh dengan baik apabila dalam proses pembelajaran, guru dapat menerapkan model pembelajaran studi kasus. Guru dapat memilih kasus-kasus sosial yang ada dimasyarakat sebagai materi pendukung dalam pembelajaran. Oleh karena itu, pembelajaran PMP bersifat aktual. Internalisasi nilai-nilai Pancasila tidak dapat dilakukan secara instan karena Pancasila merupakan ideologi. Internalisasi Pancasila membutuhkan waktu yang lama dan dilakukan secara terus menerus sehingga ideologi tersebut mengakar pada diri siswa. Penggalian nilai-nilai Pancasila dengan mengajarkan kembali PMP di sekolah merupakan langkah yang tepat sehingga siswa yang merupakan generasi penerus bangsa terhindarkan dan terselamatkan dari paham radikal.*)
*) Penulis
Dr. I Ketut Suar Adnyana,M.Hum.
Wakil Rektor I Universitas Dwijendra